Monday, October 4, 2010

Guy Bourdin

Hehe, lagi2 co-pas dari sebuah BLOG kawan di jogja..
Ini dia "LINK..." nya



Perempuan itu berambut coklat, wajahnya diselimuti riasan wajah tebal, kontras dengan warna kulit putih pucat, dan tentu saja pantat mulusnya. Ada darah merah menyala keluar dari mulutnya. Darah itu terlihat artifisial, lebih terlihat seperti warna cat kuku.

Pada fragmen lain, seorang perempuan telanjang tergeletak di meja. Masih dengan riasan tebal dan warna tubuh yang pucat. Di sebelah kirinya seorang gadis bergaun biru bercorak putih, menatap kosong dengan leher yang terjerat tali.

Pornografi? “Don’t make me laugh. This is art.”, kata Guy Bourdin seorang fotografer Perancis terkenal di era 70-an, pria jenius yang membuat foto-foto ini. Guy Bourdin dikenal sebagai orang yang obsesif. Tidak ada bukti yang menjelaskan jika ia memang memiliki kelainan perilaku seksual, namun perlakuannya pada model-modelnya memang agak aneh. Model-model perempuan dalam karya Bourdin memang seperti sengaja disiksa melakukan pose dengan sepatu high heels yang mematikan, korset ketat yang membuat sulit bernafas dan bergerak, membentuk suatu postur tubuh yang janggal.

Bourdin cenderung menggunakan warna-warna bersaturasi ekstrim dalam foto-fotonya; merah darah yang menyala, hijau rumput yang menyengat atau kuning cerah yang merusak mata, kontras dengan kisah gelap yang ia tawarkan. Semuanya tampak sureal dan absurd—sensual dan provokatif. Karya-karyanya adalah suatu adegan yang terhenti, sebuah skenario ketidaksengajaan yang disusun rapih. Karya-karyanya tampak statis, mengingatkan kita pada awal munculnya fotografi yang masih menggunakan teknik long exposures yang sangat panjang–ketika arsitektur bangunan masih menjadi objek favorit para fotografer.

Jejak-jejak kecenderungan karya Bourdin dapat ditemukan pada surealisme ala Man Ray, di mana kala itu Bourdin sempat bekerja sebagai asisten Man Ray dan ia mengakui sangat mengagumi seniornya itu. Pelukis Rene Magritte dan Balthus juga banyak memberi inspirasi dalam karya-karya Bourdin, sementara inspirasi dari film-film Luis Bunuel tampak dalam cara Bourdin mengonstruksi fotonya seperti sebuah still film, sebuah potongan adegan yang absurd.

undefined

Dikenal sebagai seorang fotografer fashion ternama langganan majalah Vogue, saya bertanya-tanya: apa yang dijual Bordin dalam foto fashionnya? Bukankah biasanya foto fashion berisi perempuan-perempuan cantik tersenyum mengenakan pakaian haute-couture dengan disinari lampu-lampu glamor?

Karya-karya Bourdin adalah revolusi dalam fotografi fashion. Ia menolak “tirani suatu produk” dalam fotografi adverstising konvensional. Ia adalah fotografer pertama yang membuat sebuah narasi kompleks dalam fotografi fashion, dimana objek fashion tidak lagi menjadi fokus utama. Imej dari narasi yang dibuatnya memiliki eksistensi yang independen, dan produk fashion hanya menjadi sekedar ada untuk melengkapi narasi tersebut. Ia telah membawa fotografi fashion ke tingkatan baru. Ia tidak pernah memedulikan kepentingan komersil, fashion hanyalah suatu jalan untuk membuat idenya terwujud.

Karyanya sering dibanding-bandingkan dengan koleganya, Helmut Newton yang juga bekerja di Vogue. Keduanya memang gemar menampilkan tubuh perempuan-perempuan telanjang dan tersiksa. Namun berbeda dengan Helmut yang selalu menggunakan warna monokrom dan mengeksploitasi erotika sadomasokis, karya Bourdin memiliki suatu narasi tragis akan kisah yang telah atau akan terjadi—akan ada banyak pertanyaan tak terjawab yang muncul saat melihat foto-fotonya.

Kaki-Kaki Mulus Misterius


Pada tahun 1967-1981 Bourdin dikontrak ekslusif oleh perusahaan sepatu Charles Jourdan dan dalam kurun waktu itulah Bourdin melakukan banyak eksplorasi dengan foto-foto kaki. Dalam beberapa kesempatan Bourdin membuat semacam foto seri potongan kaki-kaki sebetis (menggunakan sepatu Charles Jourdan tentunya) yang berkelana dalam fragmen-fragmen janggal dan ajaib. Sepatu telah menjadi sebuah objek fetish di tangan Bourdin, baik sebagai sebuah benda hasrat maupun sebagai fokus dari sebuah skenario.


Salah satu foto iklan yang paling diingat adalah sebuah foto pada tahun 1975, ketika Bourdin memotret sebuah adegan kecelakaan mobil dengan gambar garis polisi yang menandakan tubuh seorang korban perempuan yang terkapar dan sepasang sepatu pink Charles Jourdan dalam posisi mengenaskan. Foto ini sama sekali tidak tampak sebagai foto iklan fashion. Cahaya flash yang kuat membuatnya tampak seperti snapshot jurnalistik amatir. Namun di sinilah Bourdin bermain-main dengan nilai keindahan. Dalam foto-fotonya ia mengritik makna keindahan yang baginya tidak selalu murni, ia mempertanyakan fashion yang hipokrit dan arogan. Dalam foto ini ia membunuh sekaligus mempromosikan sebuah imej sepatu. Hasilnya? Charles Jourdan mengontraknya selama 14 tahun.

Fotografi Fashion dan Seni Rupa


Pada tahun 60-an fotografi telah diterima sebagai bagian dari seni rupa dan semenjak itu keberadaannya mulai disejajarkan dengan seni lukis. Posisi fotografi sebagai sebuah medium tidak lagi dipertanyakan melainkan lebih penting lagi narasi apa yang mampu dimunculkan oleh fotografi. Salah satu contoh fotografer pada masa itu adalah Cindy Sherman yang memperkenalkan gaya naratif kepada fotografi.

Namun ternyata dalam tubuh fotografi itu sendiri, masih ada suatu hirarki yang belum “terselesaikan”. Karena fotografi dapat dilakukan banyak orang, baik profesional dan amatir, akhirnya batas antara seni dan bukan seni dalam fotografi menjadi sedikit lebih kompleks, daripada seni lukis yang lebih eksklusif, misalnya.

Begitu pula fotografi fashion secara umum akan didefinisikan secara praktis sebagai sekedar medium untuk mempromosikan sebuah produk fashion. Fotografi fashion tidak bedanya dengan iklan komersil. Namun dalam dunia seni rupa kontemporer, elemen-elemen visual dalam dunia desain dan periklanan telah melebur dan mengaburkan batas seni dan bukan seni. Baik fashion dan seni rupa telah saling berapropriasi, baik fotografi dan seni rupa telah saling memberi inspirasi.

Dalam kasus Guy Bourdin, fotografi fashion yang dibuatnya telah melebihi fashion itu sendiri, objek fashion sekedar ada untuk mewujudkan obsesi Bourdin atas seni—atau obsesi atas pantat mulus model-modelnya. Foto-foto Bourdin tidak lagi bicara tentang fashion, namun jauh menuju substasinya: keindahan.

http://ultramicroscopic.wordpress.com/2010/09/20/tentang-guy-bourdin-pantat-pantat-seduktif-kaki-kaki-mulus-dan%E2%80%A6fotografi/

Saturday, October 2, 2010

Contemporaneity

Museum of Contemporary Art, Shanghai, China

Complete Story Click "Here..!!"


‘Discussing Contemporaneity’, a seminar organized in conjunction with the exhibition ‘Contemporaneity: Contemporary Art of Indonesia’, posed two questions: what constitutes contemporaneity and how is Indonesian art situated in within it? In his accompanying catalogue essay, co-curator Jim Supangkat attempts to offer examples of recent discourses in Europe and America that have tried to define and contextualize art produced globally, beyond the Modernist trajectory. He proposes the term ‘artistic sensibilities’ to identify traits of contemporaneity in the cultural context of Indonesia. According to Supangkat, this term allows for a pluralization of views on art with ‘the quality of being current or of the present’ following the loosening of the Eurocentric Modernist frame. At the same time, the word ‘sensibility’ refers to a combination of technique and understanding, and has a culturally specific relevance to art in Indonesia, which is located between art in a western sense and so-called ethnic art.

This argument was the main conceptual basis for the first ever survey of contemporary art from Indonesia to be held in China. Considering the geographical proximity of the two countries, there has been absurdly little exchange between their artistic communities (beyond the commercial relationship between Indonesian collectors of Chinese descent and Chinese artists). Typically, art professionals in China seem to know far more about the art communities in Europe and America than they do about their immediate neighbours. ‘Contemporaneity’ created a possible platform for intellectual communication among Asian colleagues who share the same concerns of self-definition within a globalized contemporary art discourse.

The exhibition was indeed a broad sampling of forms and subject matter among Indonesian artists active today. Works ranged across media, from Eko Nugroho’s graffiti-style stickers on the glass façade of the museum (Untitled, 2010) to Wayang Republic (2009), Nasirun’s oversized painted leather puppet portraying a character from Indonesian shadow-puppet theatre, hanging from the ceiling of the museum like an oversized kite. This piece in particular served to assert the curators’ definition of contemporaneity as something that can also contain ethnic and craft-based practices. At times, the selected works appeared random in that there seemed to be little conceptual or formal dialogue or transition from one to another. At other times, the groupings were too tightly orchestrated by Supangkat’s formulation of contemporaneity and could appear contrived.
Supangkat’s co-curator, Biljana Ciric, brought another angle to the exhibition, balancing the emphasis on East–West binary perspectives on contemporaneity as voiced in Supangkat’s statement. Their partnership in the making of the exhibition was vital: Supangkat is a long-term veteran in the Indonesian art scene who was involved in the local avant-garde art movement as early as 1975, when he founded the Indonesia New Art Movement, which argued for a re-definition of art and was considered the beginning of contemporary art in Indonesia. The colonial history of the country was (and is) embedded in such attempts to re-define itself in opposition to western discourses and value systems. Ciric, a Serbian curator who has been living and working in Shanghai for ten years, brought a view based on the examination of individual artistic positions – less tethered to national or cultural classifications and more closely related to the infrastructure and market system of Indonesia.
The highlight of the exhibition was the film programme, which featured short videos and films from young filmmakers such as Edwin to more established figures such as Gotot Prakosa, Faozan Rizal and Garin Nugroho. Kantata Takwa is a partially documentary film named after the legendary Indonesian rock group of the same name. The production of the film started with the band’s 1990 live concert and was completed in 2008 with band members playing some of the roles in the film. Tracing continuous changes in the social climate along the way, Kantata Takwa proves to be a powerful and sentimental protest against the Suharto regime.
After leaving the seminar and the exhibition, I realized that it was important to remember that by proposing a notion of artistic sensibility, this survey served the curators’ argument and simply offered one perspective among many on contemporary Indonesian art. The idea of contemporaneity shouldn’t be about labels or definitions but about the interactions and uncertainty of multiple views.

Carol Yinghua Lu

http://www.frieze.com/issue/review/contemporaneity/

Pretty Maternity

© daus & ladytha works

Friday, October 1, 2010

Garuda ( Elang Jawa )

© daus & ladytha works


Elang Jawa atau Spizaetus bartelsi adalah salah satu spesies elang langka berukuran sedang yang endemik di Pulau Jawa.