Thursday, December 2, 2010

BKPM Event


 









© daus & ladytha adrian works



Monday, November 29, 2010

erotic visual

© daus & ladytha works

Saturday, November 27, 2010

Thursday, November 25, 2010

USO

© daus & ladytha works
Nidji & fans

Sunday, November 21, 2010

Music & Us

© daus & ladytha works
'Cheril & Aldi', what a wonderfull couple..!!

Saturday, November 20, 2010

Love

© daus & ladytha works

Friday, November 19, 2010

Peacefull Maternity

© daus & ladytha works
thanx to Jesselyn for the wonderfull pose for us..

Baby Vello

© daus & ladytha works
thanx to angela & dede for the time.. :)

Wednesday, November 17, 2010

Monday, October 4, 2010

Guy Bourdin

Hehe, lagi2 co-pas dari sebuah BLOG kawan di jogja..
Ini dia "LINK..." nya



Perempuan itu berambut coklat, wajahnya diselimuti riasan wajah tebal, kontras dengan warna kulit putih pucat, dan tentu saja pantat mulusnya. Ada darah merah menyala keluar dari mulutnya. Darah itu terlihat artifisial, lebih terlihat seperti warna cat kuku.

Pada fragmen lain, seorang perempuan telanjang tergeletak di meja. Masih dengan riasan tebal dan warna tubuh yang pucat. Di sebelah kirinya seorang gadis bergaun biru bercorak putih, menatap kosong dengan leher yang terjerat tali.

Pornografi? “Don’t make me laugh. This is art.”, kata Guy Bourdin seorang fotografer Perancis terkenal di era 70-an, pria jenius yang membuat foto-foto ini. Guy Bourdin dikenal sebagai orang yang obsesif. Tidak ada bukti yang menjelaskan jika ia memang memiliki kelainan perilaku seksual, namun perlakuannya pada model-modelnya memang agak aneh. Model-model perempuan dalam karya Bourdin memang seperti sengaja disiksa melakukan pose dengan sepatu high heels yang mematikan, korset ketat yang membuat sulit bernafas dan bergerak, membentuk suatu postur tubuh yang janggal.

Bourdin cenderung menggunakan warna-warna bersaturasi ekstrim dalam foto-fotonya; merah darah yang menyala, hijau rumput yang menyengat atau kuning cerah yang merusak mata, kontras dengan kisah gelap yang ia tawarkan. Semuanya tampak sureal dan absurd—sensual dan provokatif. Karya-karyanya adalah suatu adegan yang terhenti, sebuah skenario ketidaksengajaan yang disusun rapih. Karya-karyanya tampak statis, mengingatkan kita pada awal munculnya fotografi yang masih menggunakan teknik long exposures yang sangat panjang–ketika arsitektur bangunan masih menjadi objek favorit para fotografer.

Jejak-jejak kecenderungan karya Bourdin dapat ditemukan pada surealisme ala Man Ray, di mana kala itu Bourdin sempat bekerja sebagai asisten Man Ray dan ia mengakui sangat mengagumi seniornya itu. Pelukis Rene Magritte dan Balthus juga banyak memberi inspirasi dalam karya-karya Bourdin, sementara inspirasi dari film-film Luis Bunuel tampak dalam cara Bourdin mengonstruksi fotonya seperti sebuah still film, sebuah potongan adegan yang absurd.

undefined

Dikenal sebagai seorang fotografer fashion ternama langganan majalah Vogue, saya bertanya-tanya: apa yang dijual Bordin dalam foto fashionnya? Bukankah biasanya foto fashion berisi perempuan-perempuan cantik tersenyum mengenakan pakaian haute-couture dengan disinari lampu-lampu glamor?

Karya-karya Bourdin adalah revolusi dalam fotografi fashion. Ia menolak “tirani suatu produk” dalam fotografi adverstising konvensional. Ia adalah fotografer pertama yang membuat sebuah narasi kompleks dalam fotografi fashion, dimana objek fashion tidak lagi menjadi fokus utama. Imej dari narasi yang dibuatnya memiliki eksistensi yang independen, dan produk fashion hanya menjadi sekedar ada untuk melengkapi narasi tersebut. Ia telah membawa fotografi fashion ke tingkatan baru. Ia tidak pernah memedulikan kepentingan komersil, fashion hanyalah suatu jalan untuk membuat idenya terwujud.

Karyanya sering dibanding-bandingkan dengan koleganya, Helmut Newton yang juga bekerja di Vogue. Keduanya memang gemar menampilkan tubuh perempuan-perempuan telanjang dan tersiksa. Namun berbeda dengan Helmut yang selalu menggunakan warna monokrom dan mengeksploitasi erotika sadomasokis, karya Bourdin memiliki suatu narasi tragis akan kisah yang telah atau akan terjadi—akan ada banyak pertanyaan tak terjawab yang muncul saat melihat foto-fotonya.

Kaki-Kaki Mulus Misterius


Pada tahun 1967-1981 Bourdin dikontrak ekslusif oleh perusahaan sepatu Charles Jourdan dan dalam kurun waktu itulah Bourdin melakukan banyak eksplorasi dengan foto-foto kaki. Dalam beberapa kesempatan Bourdin membuat semacam foto seri potongan kaki-kaki sebetis (menggunakan sepatu Charles Jourdan tentunya) yang berkelana dalam fragmen-fragmen janggal dan ajaib. Sepatu telah menjadi sebuah objek fetish di tangan Bourdin, baik sebagai sebuah benda hasrat maupun sebagai fokus dari sebuah skenario.


Salah satu foto iklan yang paling diingat adalah sebuah foto pada tahun 1975, ketika Bourdin memotret sebuah adegan kecelakaan mobil dengan gambar garis polisi yang menandakan tubuh seorang korban perempuan yang terkapar dan sepasang sepatu pink Charles Jourdan dalam posisi mengenaskan. Foto ini sama sekali tidak tampak sebagai foto iklan fashion. Cahaya flash yang kuat membuatnya tampak seperti snapshot jurnalistik amatir. Namun di sinilah Bourdin bermain-main dengan nilai keindahan. Dalam foto-fotonya ia mengritik makna keindahan yang baginya tidak selalu murni, ia mempertanyakan fashion yang hipokrit dan arogan. Dalam foto ini ia membunuh sekaligus mempromosikan sebuah imej sepatu. Hasilnya? Charles Jourdan mengontraknya selama 14 tahun.

Fotografi Fashion dan Seni Rupa


Pada tahun 60-an fotografi telah diterima sebagai bagian dari seni rupa dan semenjak itu keberadaannya mulai disejajarkan dengan seni lukis. Posisi fotografi sebagai sebuah medium tidak lagi dipertanyakan melainkan lebih penting lagi narasi apa yang mampu dimunculkan oleh fotografi. Salah satu contoh fotografer pada masa itu adalah Cindy Sherman yang memperkenalkan gaya naratif kepada fotografi.

Namun ternyata dalam tubuh fotografi itu sendiri, masih ada suatu hirarki yang belum “terselesaikan”. Karena fotografi dapat dilakukan banyak orang, baik profesional dan amatir, akhirnya batas antara seni dan bukan seni dalam fotografi menjadi sedikit lebih kompleks, daripada seni lukis yang lebih eksklusif, misalnya.

Begitu pula fotografi fashion secara umum akan didefinisikan secara praktis sebagai sekedar medium untuk mempromosikan sebuah produk fashion. Fotografi fashion tidak bedanya dengan iklan komersil. Namun dalam dunia seni rupa kontemporer, elemen-elemen visual dalam dunia desain dan periklanan telah melebur dan mengaburkan batas seni dan bukan seni. Baik fashion dan seni rupa telah saling berapropriasi, baik fotografi dan seni rupa telah saling memberi inspirasi.

Dalam kasus Guy Bourdin, fotografi fashion yang dibuatnya telah melebihi fashion itu sendiri, objek fashion sekedar ada untuk mewujudkan obsesi Bourdin atas seni—atau obsesi atas pantat mulus model-modelnya. Foto-foto Bourdin tidak lagi bicara tentang fashion, namun jauh menuju substasinya: keindahan.

http://ultramicroscopic.wordpress.com/2010/09/20/tentang-guy-bourdin-pantat-pantat-seduktif-kaki-kaki-mulus-dan%E2%80%A6fotografi/

Saturday, October 2, 2010

Contemporaneity

Museum of Contemporary Art, Shanghai, China

Complete Story Click "Here..!!"


‘Discussing Contemporaneity’, a seminar organized in conjunction with the exhibition ‘Contemporaneity: Contemporary Art of Indonesia’, posed two questions: what constitutes contemporaneity and how is Indonesian art situated in within it? In his accompanying catalogue essay, co-curator Jim Supangkat attempts to offer examples of recent discourses in Europe and America that have tried to define and contextualize art produced globally, beyond the Modernist trajectory. He proposes the term ‘artistic sensibilities’ to identify traits of contemporaneity in the cultural context of Indonesia. According to Supangkat, this term allows for a pluralization of views on art with ‘the quality of being current or of the present’ following the loosening of the Eurocentric Modernist frame. At the same time, the word ‘sensibility’ refers to a combination of technique and understanding, and has a culturally specific relevance to art in Indonesia, which is located between art in a western sense and so-called ethnic art.

This argument was the main conceptual basis for the first ever survey of contemporary art from Indonesia to be held in China. Considering the geographical proximity of the two countries, there has been absurdly little exchange between their artistic communities (beyond the commercial relationship between Indonesian collectors of Chinese descent and Chinese artists). Typically, art professionals in China seem to know far more about the art communities in Europe and America than they do about their immediate neighbours. ‘Contemporaneity’ created a possible platform for intellectual communication among Asian colleagues who share the same concerns of self-definition within a globalized contemporary art discourse.

The exhibition was indeed a broad sampling of forms and subject matter among Indonesian artists active today. Works ranged across media, from Eko Nugroho’s graffiti-style stickers on the glass façade of the museum (Untitled, 2010) to Wayang Republic (2009), Nasirun’s oversized painted leather puppet portraying a character from Indonesian shadow-puppet theatre, hanging from the ceiling of the museum like an oversized kite. This piece in particular served to assert the curators’ definition of contemporaneity as something that can also contain ethnic and craft-based practices. At times, the selected works appeared random in that there seemed to be little conceptual or formal dialogue or transition from one to another. At other times, the groupings were too tightly orchestrated by Supangkat’s formulation of contemporaneity and could appear contrived.
Supangkat’s co-curator, Biljana Ciric, brought another angle to the exhibition, balancing the emphasis on East–West binary perspectives on contemporaneity as voiced in Supangkat’s statement. Their partnership in the making of the exhibition was vital: Supangkat is a long-term veteran in the Indonesian art scene who was involved in the local avant-garde art movement as early as 1975, when he founded the Indonesia New Art Movement, which argued for a re-definition of art and was considered the beginning of contemporary art in Indonesia. The colonial history of the country was (and is) embedded in such attempts to re-define itself in opposition to western discourses and value systems. Ciric, a Serbian curator who has been living and working in Shanghai for ten years, brought a view based on the examination of individual artistic positions – less tethered to national or cultural classifications and more closely related to the infrastructure and market system of Indonesia.
The highlight of the exhibition was the film programme, which featured short videos and films from young filmmakers such as Edwin to more established figures such as Gotot Prakosa, Faozan Rizal and Garin Nugroho. Kantata Takwa is a partially documentary film named after the legendary Indonesian rock group of the same name. The production of the film started with the band’s 1990 live concert and was completed in 2008 with band members playing some of the roles in the film. Tracing continuous changes in the social climate along the way, Kantata Takwa proves to be a powerful and sentimental protest against the Suharto regime.
After leaving the seminar and the exhibition, I realized that it was important to remember that by proposing a notion of artistic sensibility, this survey served the curators’ argument and simply offered one perspective among many on contemporary Indonesian art. The idea of contemporaneity shouldn’t be about labels or definitions but about the interactions and uncertainty of multiple views.

Carol Yinghua Lu

http://www.frieze.com/issue/review/contemporaneity/

Pretty Maternity

© daus & ladytha works

Friday, October 1, 2010

Garuda ( Elang Jawa )

© daus & ladytha works


Elang Jawa atau Spizaetus bartelsi adalah salah satu spesies elang langka berukuran sedang yang endemik di Pulau Jawa.

Thursday, September 30, 2010

Photo Power on Trend Hunter..!!


Art Jog 2010

About ART|JOG|10

The art fair mechanism held twice, labeled Jogja Art Fair (JAF), was an event with a unique positioning in the social world of this country’s art scene. Especially when it is generally compared to other art fairs in the world. What makes it unique is that instead of inviting galleries participation in its event, JAF invites artists openly and directly to exhibit their works.
Now, JAF is announcing a new name, ART|JOG (pronounced: ART JOGJA). The aim is to make it easier for the event to offer interesting problems of course no to forget the contemporary context of each offered theme. Such chance makes ART|JOG|10 even more open to offer something different and, at the same time, direct this local art fair to a wider participating scope; beyond the countr
y’s borders.
© Copyright 2010 by Jogja Art Fair 2010 - all rights reserved
Complete detail & Galleries check out 'Here..!!'

Daegu Photo Biennale 2010

"Check Out this Exhibition Here..!!"

The subject of 2010 Daegu Biennale is ‘tru(E)motion’ (landscape calling us). It has three points of view. First, it is literally true emotion. A photographer expresses his/her emotion sincerely in a situation that happens in a space through photos. Second, it can show motions through ‘true motion.’ it shows the boundary between photos and videos through video works of photo artists as well as photos. It stimulates audience's curiosity through various instruments for video works. Last, ‘E’ expresses the nature and the human which are great interests in the field of art, as the initial 'e' of ecology and environment. So, it views a subtle relation between cities made by humans and the humans living in the cities ironically. Moreover, it is a complex keyword of three main exhibitions (‘Seconds of Life’: landscape made by humans, ‘helsinki school’ and ‘breaking the edge’) which are introduced in this Biennale.

Tuesday, September 28, 2010

Vista

Vista for daus & tha  
© daus & ladytha photography

Sunday, September 26, 2010

FOTO GLAMOR TANPA MENGGUNAKAN MODEL PROFESIONAL

'Sebuah Teori'

Apakah glamor itu..? Jawaban dari pertanyaan singkat tersebut pasti akan sangat berpengaruh kepada siapa pertanyaan itu diberikan. Banyak mungkin yang akan menjawabnya dengan “segala macam kemewahan”, tubuh penuh dengan permata dan pakaian sutra berkeliman rapih, “model cantik dan sexy” yang lues di depan kamera, setting tempat yang eksotis dll. Penyataan-pernyataan tersebut memang tidak ada salahnya, tetapi definisi sebenarnya pada glamor adalah mengacu pada keindahan, keanggunan, dan beberapa atribut kemenarikan pada manusia. Jadi glamor dapat diasumsikan sebagai cara hidup / life style.
Pada dasarnya fotografi glamor dapat dibuat walaupun dihadapan manusia biasa (bukan model professional), “Glamor adalah penciptaan dari sebuah ilusi, jadi setiap orang dapat terlihat glamor tergantung dari seorang fotografer dalam memulainya dan melihat kecantikan sebagai suatu keindahan yang datang dari dalam diri seseorang”.
Model profesional dan model non profesional adalah dua sosok yang tidak jauh berbeda namun tidak sama. Keduanya sama-sama menjadi subjek dalam sesi pemotretan. Perbedaan antara keduanya adalah kebiasaan dalam sesi pemotretan.
Saat bekerja dengan model profesional seorang fotografer mungkin dapat bekerja dengan lebih mudah, karena seringkali model yang sudah terbiasa dengan kamera akan membantu menyelesaikan masalah-masalah pada saat pemotretan, terutama dalam hal berpose, sudut-sudut pengambilan foto dll. Lain halnya dengan seseorang yang tidak terbiasa di hadapan kamera, walaupun model tersebut memiliki postur tubuh / wajah yang fotogenic tentu dia akan seringkali terlihat kaku dan canggung didepan kamera.
Tugas seorang fotografer yang membuat seseorang / model yang baru ataupun yang belum terbiasa berada didepan kamera tersebut agar dapat mengeluarkan keindahan yang sudah ada dalam dirinya secara alami pada hasil akhir sebuah fotografi. Mulai dari ide / konsep pemotretan, kamera dan perlatannya, pencahayaan, make up, setting / komposisi, busana yang dikenakan, pose model hingga hasil cetakan akhir harus dapat terjalin dalam kesatuan dengan baik.
Yang paling akhir dan menentukan bagi seorang fotografer adalah hasil akhir foto tersebut. Karena walaupun seorang fotografer tersebut dari awal eksposure hingga sentuhan akhir manipulasi pada layar monitor berjalan baik dan lancar, akan sia-sia bila hasil akhirnya (cetakan foto maupun data elektronik) buruk.
Keuntungan lain memotret dengan model yang amatir adalah penekanan angka pengeluaran dana yang dapat lebih diminimalkan. Dalam fotografi komersial tentu hal ini merupakan suatu keuntungan lebih yang akan didapat.
Hal paling dasar dalam sebuah bisnis fotografi komersial khususnya model, adalah keindahan. Untuk itu fotografer harus mengerahkan segala bentuk kemampuannya, baik dari fisik maupun mental hingga dapat menangkap moment saat semua faktor menjadi satu kesatuan dan subjek / seorang model yang kita gunakan mampu memproyeksikan kondisi yang kita inginkan untuk pemotretan. Hal ini dapat membutuhkan waktu berjam-jam, berhari-hari bahkan mungkin juga spontan dalam waktu yang singkat. Sebagai seorang fotografer, kita harus siap dan tanggap dalam melihat moment yang paling menentukan ini dan merekamnya dalam kamera.
Keindahan juga merupakan hal yang paling utama dalam memasuki dunia glamor. Keindahan merupakan unsur yang melekat pada manusia secara alami, bukan dan tidak akan dapat diciptakan oleh tangan manusia. Yang dapat kita lakukan sebagai seorang fotografer hanyalah mengolah, megeluarkan dan menunjukkan keindahan tersebut, dan menjadikannya sebagai daya tarik tersendiri.
Glamor, disisi lain adalah sebuah penciptaan / kreasi manusia yang membawa keindahan alami tersebut pada sebuah penciptaan ilusi yang melibatkan berbagai material lain yang diciptakan manusia.
“Keindahan alami bukan hanya didapat dari sosok wajah yang cantik, namun keindahan yang alami sudah terdapat pada diri masing-masing manusia”. Untuk mendapatkan keindahan dari diri seseorang, fotografer harus dapat membaca karakter dan kepribadian dalam diri modelnya. Karena dari pengenalan karakter model, fotografer akan mengetahui bagaimana memotret model tersebut, pencahayaan yang seperti apa dan settingan yang bagaimana seharusnya diterapkan. Pendekatan yang baik dengan seorang model sangatlah mendukung dalam sesi pemotretan.

Perkenalkan dan jadikanlah kamera tersebut menjadi seorang teman dekatnya, sehingga ia dapat mencurahkan apa yang ada dalam dirinya sendiri di depan kamera. Hal ini adalah misi seorang fotografer dalam menghadapi model amatir. Dengan pendekatan tersebut seorang model yang khususnya bukan model profesional juga akan merasa nyaman dengan kamera. Kenyamanan inilah yang membuat model tersebut nyaman dan percaya diri menjadi dirinya sendiri dihadapan kamera. Bila moment itu dapat ditemukan maka setiap foto yang diinginkan akan lebih mudah tercapai dengan tepat.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Setelah keindahan dalam diri subjek / model sudah mampu terbaca, maka langkah berikutnya adalah menentukan kecocokan karakter subjek / model itu dengan konsep foto apa yang akan diambil. Karena tidak jarang karya foto yang memuat ketidakcocokan antara model dengan keseluruhan konsep dari foto tersebut. Bila kita menghadapi model yang belum terbiasa dengan kamera, hal ini dapat menjadi suatu kesalahan fatal. Sulitnya berpose spontan didepan kamera dengan alami akan sangat menyulitkan, terlebih lagi apabila konsep foto yang kita inginkan tidak sesuai dengan karakter model. Untuk itu akan lebih baik apabila kita mampu berkomunikasi dan mengarahkan model itu untuk dapat mengeluarkan ekspresinya dengan cara model itu sendiri dalam menanggapi konsep foto yang bertolak belakang dengan karakter dirinya sendiri.
Menciptakan iliusi merupakan keharusan dalam proses pembuatan foto glamor, karena dengan ilusi kita dapat merubah seseorang yang tidak tampak indah menjadi indah dan bersinar. Penciptaan ilusi ini dapat kita lakukan dengan kerjasama bersama orang lain. Karena glamor berkaitan erat dengan atribut kemenarikan dalam diri manusia, maka untuk membuat foto yang glamor akan membutuhkan segala macam hal yang berhubungan dengan tata rias, fashion, setting/lokasi dan atribut pendukung pemotretan, pencahayaan, dan hasil atau warna pada cetakan akhir. Berikut adalah pembagian beberapa langkah untuk membuat foto yang berkesan glamor:

a. Tata Rias

Untuk menciptakan ilusi yang glamor faktor pertama yang dapat seorang fotografer lakukan adalah dengan make up. Kerjasama dengan seorang seniman tata rias dan penata rambut akan memberi keuntungan besar bagi seorang fotografer untuk dapat memvisualkan keinginannya pada sesi pemotretan. Tata rias kecantikan merupakan salah satu bisnis besar dalam bisnis fotografi. Dan foto-foto yang dihasilkan dari perombakan wajah melalui tata rias ini tidak hanya menunjukkan seberapa populernya fotografi model untuk kepentingan majalah, namun hal ini juga penting bagi para seniman tata rias dan hair-stylist untuk mendedikasikan diri mereka pada pekerjaannya.
Bila bekerja dengan model / orang yang belum pernah bekerja dengan fotografer secara profesional, maka fotografer harus membuat mereka tampak nyaman, dan membiarkan mereka merasa santai dalam dan menikmati setiap sesi. Karena mungkin mereka mau melakukan sesi pemotretan tersebut demi suatu alasan tertentu.
Komunikasi meupakan kunci dalam kerjasama ini. Walaupun ini hanya sekedar percakapan biasa, maupun percakapan yang memang mengarahkan kerjasama antara fotografer, penata rias / rambut hingga model ini dapat solid dan sukses di akhir sesi pemotretan. Setelah komunikasi tersebut dapat berjalan, maka akhirnya biasanya akan terbentuk kesepakatan bersama yang berdasarkan keinginan dan tujuan pemotretan tersebut nantinya.
Walupun banyak orang (terutama wanita) yang ditata rias dan rambut bersedia untuk mencoba suatu gaya yang baru, merubah seseorang yang bukan seorang model profesional dengan gaya rambut dan tata rias yang dengan itu dia merasa nyaman tidaklah mudah. Perubahan-perubahan tata rias dan rambut seperti pemotongan rambut, pewarnaan rambut, lukisan tubuh dll, adalah perubahan yang harus dibawa keluar dalam kehidupannya. Karena mungkin orang tersebut masih memiliki banyak pertimbangan lain di luar sesi pemotretan.
Model profesional dan model non profesional memiliki latar belakang yang berbeda dalam sesi pemotretan. Model profesional akan menerima segala sesuatu yang kita tawarkan asalkan tidak memotong rambut atau melakukan sesuatu yang tidak dapat dihapus setelah sesi pemotretan. Segala macam penampilan untuk foto-foto yang spesifik adalah tuntutan dari pekerjaan mereka. Lain halnya dengan model amatir yang mungkin mau melakukan sesi pemotretan karena tujuan tertentu. Dan model amatir biasanya akan tetap ingin terlihat seperti dirinya dalam foto tersebut. Untuk itu tata rias dan rambut hanya akan dilakukan untuk menambah ataupun mengurangi kelebihan dan kekurangan model itu.

b. Fashion

Fashion adalah gaya hidup, namun dalam konteks ini saya hanya akan menghubungkannya dengan tatanan busana. Salah satu hal dasar dari sifat ke-glamoran. Busana merupakan atribut primer yang melekat pada tubuh manusia. Keindahan pakaian yang dikenakan pada tubuh akan memberi kesan dan pengalaman yang indah pula. Pakaian yang indah juga dapat memberi suatu pancaran sinar yang berkilauan bagi pemakainya. Setelah segala tata rias dan rambut sudah dikenakan, selanjutnya mutlak adalah pakaian yang cocok untuk dikenakan oleh model tersebut. Pemilihan pakaian untuk sesi pemotretan akan bergantung pada ide / konsep awal pemotretan tersebut yang diselaraskan dengan elemen-elemen penunjang sesi pemotretan tersebut.
Dinamisnya perkembangan fashion didunia sangatlah cepat, sehingga pertimbangan dan pengamatan untuk terus mengikutinya adalah suatu keharusan bagi fotografer yang bergerak dalam bidang fotografi komersial semacam ini.
Ada juga yang mengaitkan glamor dengan ketelanjangan seperti yang diasosiasikan oleh Assosiasi Fotografer Inggris Raya “Glamour photography is the photographing of a model (usually female) nude or semi-nude, in a way that is intended to be erotic”. Kalimat diatas mengaitkan bahwa foto glamor adalah foto-foto yang memiliki muatan erotis ala Playboy atau Penthouse. Namun hal tersebut seharusnya juga menjadi pertimbangan bagi fotografer yang ingin memotret dengan nuansa glamor tersebut. Karena nuansa glamor memang bisa didapatkan melalui ketelanjangan tersebut.
Mulai dari ketelanjangan, pakaian-pakaian renang, gaun malam yang indah, kostum olahraga, topi, cincin, kalung, tas, sepatu hingga segala macam bentuk material lainnya adalah unsur-unsur fashion yang dapat menjadi objek foto bernuansa glamor. Dan pada akhirnya tergantung kepada fotografer untuk menilai apakah ada kesan glamor dari unsur-unsur material yang dikenakan subjek fotonya tersebut?.

c. Setting / lokasi

Tak lengkap bila akan menciptakan nuansa glamor tanpa setting yang memiliki nilai kuat akan nuansa glamor juga. Karena lokasi pemotretan dapat menambah dan mempengaruhi nuansa foto. Memilih background atau lokasi pemotretan untuk luar ruangan dapat menjadi satu hal yang mendukung ataupun merusak sebuah foto. Ini adalah pilihan yang mungkin tidak disadari jika fotografer membuat keputusan dengan benar, namun akan sangat jelas terlihat jika seorang fotografer membuatnya dengan salah. Seringkali keputusan ini bukan hanya di serahkan penuh pada fotografernya, tapi juga dari kemauan klien.
Background / latar belakang dalam studio dapat dipilih dengan cara menyetarakan warna dan nuansa latar belakang dengan mata, make up dan busana model. Akan tetapi tetap saja keputusan untuk mengeksekusi foto dibuat saat rana kamera kita buka. Bila keinginan klien tidak cocok dengan apa yang kita inginkan, sebagai fotografer yang bergerak pada foto model komersial, kita dapat memotret sesuai yang diinginkan klien tersebut terlebih dahulu. Bila kemudian hasil foto yang dibuat sesuai dengan keinginan klien tersebut kurang memuaskan untuk kita, kita dapat memotret dengan cara kita sendiri dan kemudian menawarkan kembali kepada klien tersebut.
Untuk menentukan lokasi pemotretan diluar ruangan kita juga harus menyesuaikannya dengan tema foto yang ingin dibuat. Foto glamor juga akan banyak dipengaruhi dengan lokasi foto tersebut. Seperti foto-foto yang menampilkan model yang berpose di kolam renang dengan bikininya, gaun malam yang didukung dengan setting karpet merah, limosin, dan gedung klasik nan megah dibelakangnya.
Namun seindah dan semegah apapun latar belakang yang dipilih tidak akan membantu begitu banyak, bila mata seorang fotografer tersebut tidak mempertimbangkan dan memutuskan komposisi yang tepat dalam pengambilan foto. Baik komposisi itu dilihat dari tata letak objek yang ada maupun dari warna-warna yang berbaur dalam sebuah foto. Komposisi harus diambil dari keputusan fotografer sendiri, karena dialah yang memgang kendali kamera dan mengeksekusi moment puncak dari sebuah fotografi.
Pose model juga akan sama pentingnya dari itu semua, karena garis tubuh adalah sebuah komunikasi yang penting, dari fotografi model terutama. Dengan menentukan pergerakan model dan membekukannya dalam kamera, kita akan menyampaikan apa yang ingin dikemukakan dalam nuansa foto tersebut. Dan banyak juga fotografer yang salah dalam berkomunikasi melalui bahas tubuh ini. Dengan model profesional mungkin hal ini dengan mudah dapat diterjemahkan, karena mereka biasanya sudah dapat mengerti dan otomatis akan bergerak. Namun bila kita bekerja dengan model amatir hal ini akan sedikit lebih sulit kita jalankan. Belum terbiasanya mereka dengan sesi pemotretan sedikit banyak pasti akan mempengaruhi gerakan-gerakan tubuh yang di komunikasikannya. Untuk itu sebagai seorang fotografer, kita harus dapat membaca gerakan seperti apa yang cocok dengan karakternya lalu mengarahkan model tersebut tanpa membuatnya tegang. Sedikit humor mungkin adalah bumbu dalam menjalankan proses ini.

d. Pencahayaan

Pencahayaan adalah peralatan dan media paling utama dari seorang fotografer, semakin fotografer itu mengerti dan mempelajari masalah-masalah yang ada mengenai pencahayaan semakin mudah dan indah juga hasil foto yang dihasilkannya. Kita tidak akan menghasilkan foto yang bagus hanya dengan mengandalkan tata rias dan busana, setting latar belakang maupun kecantikan wajah model. Karena melalui pencahayaanlah sebuah fotografi itu dibuat.
Dalam memotret model, fotografer selalu berhubungan dengan manusia. Dan bentuk wajah setiap manusia pasti berbeda-beda, mungkin satu matanya lebih lebar dari lainnya, bentuk kepala yang kurang proporsional, dagu atau pipi yang terlalu besar dan sebagainya. Dari hal tersebut kita akan menemukan masalah-masalah baru dan harus berusaha memecahkan masalah yang ada pada pencahayaannya. Ini adalah hal yang tidak mudah dan membutuhkan banyak latihan dalam aplikasinya. Karena dari segi teknis, jatuh dan tata letak pencahayaan tidak terpaku pada suatu teori kecuali dari intensitas cahaya yang akan masuk dalam kamera. Seperti bila model yang memiliki kekurangan tertentu pada bentuk wajahnya, maka jatuhnya pencahayaan harus diperhatikan. Dengan mengarahkan model seperti memintanya menaikkan dagu satu-dua centimeter keatas untuk mengurangi panjangnya hidung dalam hasil foto, atau memintanya untu memringkan kepalanya sedikit lagi agar bentuk pipi tidak terlihat terlalu besar dalam foto.
Mempelajari pengaruh-pengaruh pencahayaan pada manusia adalah kunci dari fotografi model. Dan mempelajari pengaruh ini harus dilakukan secara terus menerus, dimanapun kita berada. Setiap ruangan yang terdapat cahaya dan manusia akan dapat kita pelajari mengenai jatuhnya cahaya dan pengaruhnya. Seperti didalam sebuah warung makan, didalam kamar tidur , di tepi jalanan, pantai dsb.
Dari segi pencahayaan mungkin sesi pemotretan bersama model profesional maupun non profesional tidak akan jauh berbeda. Keduanya memilki wajah dan memilki karakter manusianya masing-masing. Dan pembacaan karakter untuk menentukan pencahayaan yang tepat pada model adalah sepenuhnya tanggung jawab seorang fotografer.
Foto glamor disisi lain adalah foto yang menmpilkan nuansa gemerlap, mewah dan anggun. Untuk itu pencahayaan yang dibutuhkan adalah pencahayaan yang bersifat menyoroti model dengan atribut-atributnya. Misalnya dengan menyinari pencahayaan pada atas rambut untuk menghasilkan efek hairlighting pada atas rambut, cahaya belakang yang datang pada pagi atau sore hari ditambah dengan bantuan cahaya buatan dari depan model yang akan menghasilkan efek rimlight, terangnya seorang model dengan latar baelakang gedung megah yang lebih gelap, ataupun model didalam gemerlapnya suatu ruangan yang berisi benda-benda yang berkilauan dan lain-lain.

e. Pose

Yang terakhir dari kunci genre fotografi ini adalah pose. Pengaruh pose, ekspresi, bahasa tubuh model memiliki peranan penting untuk mencapai tujuan foto tersebut. Beberapa pengaturan dapat kita buat dengan mengatur gerak model seperti:
- Tubuh
- Kepala
- Tangan
- Pundak
- Kaki
- Ekspresi
- dan Kesan------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saat fotografi digital belum menjadi media utama fotografi seperti saat ini, banyak fotografer profesional yang mempercayakan pada pemakaian film slide. Hal tersebut dikarenakan warna cetakan pada film slide dapat lebih maksimal dibandingkan dengan film negatif. Hasil positif dari film slide adalah warna yang menunjukkan / mendekati pada warna aslinya. Untuk percetakan pada majalah, iklan-iklan, produk maupun model.
Saat ini hampir semua fotografer profesional sudah menggunakan kamera digital baik untuk keperluan komersial, jurnalistik maupun seni murni. Dalam penggunaannya kamera digital sangat bergantung pada komputer pada proses akhirnya. Untuk hasil cetakan, kamera digital sama seperti kamera analog memiliki kekurangan dan kelebihannya sendiri. Setiap kamera mempunyai karakternya masing-masing demikian juga dengan film.
Keuntungan dengan pemakaian kamera digital adalah fotografer dapat merubah nuansa foto lebih cepat dan akurat. Dengan adanya tampilan monitor yang langsung, fotografer dapat langsung menciptakan nuansa yang diinginkan. Hal ini tentunya harus didukung dengan hasil pemotretan yang benar juga.
Untuk menciptakan nuansa glamor tentunya fotografer harus mengetahui nuansa warna yang tepat. Pewarnaan nuansa glamor selalu mengikuti perkembangan pada zamannya masing-masing. Warna-warna glamor pada era tahun delapan puluhan tentu akan berbeda dengan warna nuansa glamor pada era enam puluhan demikian juga pada awl-awal millenium seperti sekarang.
Dengan mempelajari perkembangan zaman fotografer pasti akan mengetahui pewarnaan dan nuansa yang tepat pada sebuah hasil foto untuk menciptakan nuansa glamor. Selain itu hasil cetakan foto adalah hasil akhir yang akan sangat menentukan foto tersebut. Karena hasil cetakan itulah yang akan diperlihatkan dan ditunjukkan pada orang.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jika kita membuka majalah atau koran, glamor lebih merujuk pada kenyataan yang mewah, menggairahkan, dan wah. Karpet merah, Istana Buckhingham, dan berlian berukir cemerlang adalah glamor. Glamor bukanlah susuk yang disuntikkan untuk guna-guna, rumah mungil bercat orange diatas bukit, dan cincin akik besar bermata hijau tua. Glamor tidak merujuk pada pada kalimat singkat di kamus tebal. Jadinya glamor merupakan kata yang tidak berarti apa-apa kecuali “rasa menjadi glamor”.
Glamor adalah ideologi, ideologi itu merupakan suatu keadaan yang tidak berwujud dalam kenyataan. Sesuatu yang tidak kita miliki adalah glamor. Menjadi selebritis adalah glamor, karena banyak yang menginginkannya namun tak bisa mencapainya. Berlianpun demikian, karena tak sembarangan orang dapat memakainya. Karpet merah juga glamor karena hanya orang-orang terkenal berbaju mahal yang melewatinya.
Nuansa glamor dalam fotografi juga mempunyai makna yang sama. Dalam foto tersebut seorang fotografer harus dapat menciptakan gambar yang menjadi impian orang yang melihatnya dan yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang.
Dengan penguasaan teknis yang benar dan pengetahuan perkembangan zaman seorang fotografer akan dapat membuatnya, walaupun sesi pemotretan dilakukan didalam rumahnya sendiri. Tidak berpengaruh subjek foto tersebut, baik dengan model profesional ataupun model non profesional. Foto glamor dapat tetap diciptakan bila nuansa glamor tersebut dapat diperoleh dari pengambilan hingga penyajian foto terakhir.
Setiap orang pasti mempunyai sisi glamornya masing-masing, menjadi tugas seorang fotografer untuk menemukan dan menampilkan sisi glamor setiap modelnya yang kemudian dapat ditampilkannya dalam bentuk fotografi khususnya fotografi komersial yang berhubungan dengan foto kecantikan atau produk.

Headless Aliens

© daus & ladytha works

Boys, No More Toys..!!

© daus & ladytha works

This work is to explain my thoughts of childhood. I'm trying to interpret that every child should have devastating their desires, which were adopted.

Saturday, September 25, 2010

the Sound of Music at September

© daus & ladytha works
I took this picture at the glass door of Momentia Studio. With accompaniment from the smith and September rain cloud, my wife and kids danced and joked. A majestic sense of time.